EksNews | Kinerja keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) yang berhasil membukukan laba bersih US$809 ribu pada 2018, berbanding terbalik dari 2017 yang merugi US$216,58 juta menuai polemik. Toh dua komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak untuk mendatangani laporan keuangan 2018.
Keduanya menolak pencatatan transaksi kerja sama penyediaan layanan konektivitas (wifi) dalam penerbangan dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) dalam pos pendapatan. Pasalnya, belum ada pembayaran yang masuk dari Mahata hingga akhir 2018.
Chairal Tanjung dan Dony Oskaria merupakan perwakilan dari PT Trans Airways selaku pemegang saham Garuda Indonesia dengan kepemilikan sebesar 25,61 persen. Hingga saat ini, polemik laporan keuangan Garuda Indonesia masih terus bergulir.
Bermula pada 1 April 2019 Garuda Indonesia sebagai perusahaan publik melaporkan kinerja keuangan tahun buku 2018 kepada Bursa Efek Indonesia. Dalam laporan keuangannya, perusahaan dengan kode saham GIAA berhasil meraup laba bersih sebesar US$809 ribu, berbanding terbalik dengan kondisi 2017 yang merugi sebesar US$216,58 juta.
Kinerja ini terbilang cukup mengejutkan lantaran pada kuartal III 2018 perusahaan masih merugi sebesar US$114,08 juta. Lantas pada 24 April 2019 Garuda melangsungkan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) di Jakarta dengan salah satu mata agenda rapat adalah menyetujui laporan keuangan tahun buku 2018.
Dalam rapat itu, dua komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria selaku perwakilan dari PT Trans Airways menyampaikan keberatan mereka melalui surat keberatan dalam RUPST. Chairal sempat meminta agar keberatan itu dibacakan dalam RUPST, tapi atas keputusan pimpinan rapat permintaan itu tak dikabulkan. Hasil rapat pemegang saham pun akhirnya menyetujui laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018.
“Laporan tidak berubah, kan sudah diterima di RUPST. Tapi dengan dua catatan yaitu ada perbedaan pendapat. Itu saja,” jelas Chairal usai RUPS pada 24 April itu.
Trans Airways berpendapat angka transaksi dengan Mahata sebesar US$239,94 juta terlalu signifikan, sehingga mempengaruhi neraca keuangan Garuda Indonesia. Jika nominal dari kerja sama tersebut tidak dicantumkan sebagai pendapatan, maka perusahaan sebenarnya masih merugi US$244,96 juta.
Dua komisaris berpendapat dampak dari pengakuan pendapatan itu menimbulkan kerancuan dan menyesatkan. Pasalnya, keuangan Garuda Indonesia berubah dari yang sebelumnya rugi menjadi untung. Selain itu, catatan tersebut membuat beban yang ditanggung Garuda Indonesia menjadi lebih besar untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Padahal, beban itu seharusnya belum menjadi kewajiban karena pembayaran dari kerja sama dengan Mahata belum masuk ke kantong perusahaan.