EksNews | Pernyataan Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono yang ingin memberdayakan ‘jeger’ alias preman untuk turut membantu pengawasan protokol kesehatan mendapat kecaman keras dari Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus. Namun, ada pula yang mendukungnya seperti pengamat hukum Azmi Syahputra.
Meski di satu sisi Petrus memandangnya sebagai niat baik untuk membina dan membangun kesadaran para preman untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif dan konstruktif, di sisi lain Petrus justru melihatnya kontraproduktif. “Preman akan direkrut untuk menjadi petugas dalam menegakan protokol Covid-19 rasa-rasanya tidak tepat sasaran.
Dunia penegakan protokol Covid-19 bukan dunianya preman. Justru preman itu harus direkrut dan dibina mental dan perilakunya agar bisa menjadi orang dengan disiplin tinggi,” kecam Petrus kepada wartawan di Jakarta, 14/9/20 siang.
Toh pakar hukum Pidana Azmi Syahputra berpendapat pernyataan Komjen Gatot Eddy Pramono soal pemberdayaan preman bertujuan agar pedagang dan pengunjung pasar taat dan patuh kepada protokol kesehatan COVID-19. Menurut dia, hal ini terkait posisi Wakapolri sebagai Wakil Ketua Pelaksana II Komite PC-PEN
Jadi, konteksnys, kata Azmi, bukan hanya sebagai personel Polri, melainkan juga bagian tak terpisahkan dari Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) berdasarkan UU No 2 Tahun 2020 dan turunannya, yaitu Perpres No 82 Tahun 2020 pada 20 Juli 2020.
“Pernyataan Wakapolri soal pemberdayaan jeger (preman) di pasar agar pedagang dan pengunjung pasar taat patuh kepada protokol kesehatan COVID-19 itu perlu dilihat konteksnya secara utuh,” ungkap Azmi. Konteks yang lebih utuh itu, ujarnya, adalah upaya maksimal untuk mencapai tujuan PC-PEN sesuai dengan kenyataan di lapangan.
“Di lapangan, kata dia, perlu dipahami dalam setiap komunitas selalu ada tokoh-tokoh yang dipandang dan menjadi panutan,” kata Azmi
Bukan apa-apa, pasar dan pusat perdagangan di beberapa kasus terbukti menjadi klaster penyebaran Covid-19. Sedangkan penggunaan istilah jeger yang kemudian media memperluasnya menjadi preman, tak perlu dimaknai secara dangkal.
“Menjadikan tokoh yang dipandang dalam komunitas menjadikan perintah,ajakan, anjuran menjadi lebih efektif. Bahkan, seringkali tanpa harus memberikan ancaman atau sanksi jika tokoh terpandang dikomunitasnya melakukan suatu tindakan, akan langsung dicontoh oleh anggota komunitas,” sambungnya.
Dalam sosiologi, ini dapat terjadi karena masyarakat kita secara mayortas diikat oleh hubungan relasi patron and client, relasi saling tergantung. Atau dalam pendekatan lain, karena rasa in group dan out group, kalau tidak mengikuti tokoh seperti bukan dari bagian group.
Jadi pernyataan Wakapolri dipahami sebagai ajakan agar semua elemen bisa patuh pada protokol kesehatan, kalau tidak patuh maka minta bantuan kepada tokoh setempat atau tokoh komunitas. Kalau di pasar ada jeger, di komunitas lain ada tokoh yang lain. Jadi bukan soal preman, tetapi siapa saja yang berpengaruh di lingkungkungannya agar patuh anjuran, ajakan kepada protokol Covid-19 menjadi lebih efektif.
Jadi, lanjutnya, bukan soal preman tetapi kepada seluruh tokoh komunitas apa saja. Apalagi ada realitas preman pensiun, preman sadar ini fenomena yang ada di kehidupan. Jadi ayo kita patuhi protokol kesehatan, karena ancaman Covid-19 itu nyata. Kalau perlu tanpa harus berdebat, siapa penyampai kebaikan itu.
Intinya ajakan Wakaporli mendorong setiap elemen kelompok masyarakat untuk ikut berperan agar semakin patuh standard covid, jd fokus pada tujuan, substansi yang mau dituju atas harapan Kapolri demi kesehatan dan keselamatan kemanusiaan.
Sedangkan Petrus Selestinus melihat petugas penegak protokol Covid-19 itu mesti orang yang terbiasa disiplin dalam segala hal. Hal ini dibutuhkan karena masyarakat butuh tenaga protokol kesehatan yang bisa memberikan rasa nyaman. “Kalau preman yang diberdayakan masyarakat justru jadi ketakutan. Dalam praktik pengawasan masyarakat bisa ditotok atau ditodong untuk uang damai,” kata pengacara kelahiran Flores 19 Mei 1955.
Menurut dia, petugas penegakan protokol kesehatan Covid-19 yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah dari TNI, Polri, dan Satpol PP. Jika pun Polri membutuhkan tenaga bantuan, maka hal itu bisa dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan ormas-ormas setempat yang legal.
“Ada puluhan ribu anggota ormas terdaftar di Jakarta dari berbagai suku. Mereka bisa direkrut dan diberdayakan untuk membantu TNI, Polri, dan Satpol PP melakukan pengawasan protokol kesehatan pandemi Covid-19. Kenapa kemudian Wakapolri malah menyebut akan memberdayakan preman?” ujarnya
Boleh jadi, ini hanya masalah persepsi. Atau masalah distribusi sumberdaya? Kita kembalikan saja kepada koridor ketentuan yang mengaturnya. ~Abus