Eksnews | BANDA ACEH – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, kembali menggaungkan Konsep 4P (Public, Private, People dan Partnership) saat memberi Kuliah Umum Kebangsaan
di Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, Rabu (23/3/2022). Tema yang diangkat adalah “Berdaulat Melalui Sistem Ekonomi Pancasila”.
Dalam kegiatan itu, Ketua DPD RI didampingi tiga Anggota DPD RI Aceh, Abdullah Puteh, Fachrul Razi dan Fadhil Rahmi, serta Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun.
Hadi juga Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Ir. Marwan, Rektor USK periode 2012-2022 Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, para Wakil Rektor dan Dekan, jajaran Forkopimda serta para mahasiswa USK.
“Saya berharap Civitas Akademika Universitas Syiah Kuala memperdalam konsep Public, Private, People, Partnership ini. Karena kami di DPD RI akan mengajukan konsep ini sebagai inisiatif Rancangan Undang-Undang dari DPD RI untuk kemakmuran daerah,” ucap LaNyalla mengenai konsep yang diwacanakannya.
Dalam Konsep 4P, negara, swasta, dan rakyat terlibat dalam sebuah kerja bersama. Rakyat harus berada dalam posisi sebagai bagian dari pemilik kedaulatan atas wilayah, atau sumber daya alam di daerahnya. Sehingga keterlibatannya mutlak menjadi persyaratan sebuah investasi sektor strategis.
Dilanjutkannya, konsep keterlibatan People dalam Public, Private, People, Partnership berbeda dengan CSR Perusahaan kepada masyarakat sekitar.
Menurut LaNyalla, konsep ini adalah ruang sekaligus akses rakyat untuk menjadi bagian dari pengelolaan sumber daya alam di daerah.
“Di situ ada keadilan dan kesejahteraan. Dimana rakyat rakyat sebagai pemilik Sumber Daya Alam di negeri ini harus merasakan dan mendapat akses ekonomi langsung,” tegasnya.
Para pendiri bangsa, menurut LaNyalla, telah melahirkan sistem ekonomi yang dikelola dengan azas kekeluargaan atau Sistem Ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi tersebut dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri dari 3 ayat.
Intinya kekayaan Sumber Daya Alam negeri ini harus dikelola dengan prinsip kekeluargaan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau kepemilikan anggota-anggota masyarakat. Sehingga kemakmuran masyarakat yang diutamakan. Bukan kemakmuran orang per orang,” tegasnya.
Pasal 33 Ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 di dalam Bab Penjelasan di UUD Naskah Asli juga tertulis dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan ‘Perekonomian Disusun Atas Usaha Bersama Atas Dasar Kekeluargaan’ adalah ekonomi dari semua untuk semua.
Sehingga para pendiri bangsa ini memilih menggunakan kalimat; “…perekonomian disusun sebagai usaha bersama…”. Disusun artinya didesain dengan beleid aturan dan regulasi yang direncanakan dengan jelas. Berbeda dengan kata tersusun, yang berarti dibiarkan tersusun dengan sendirinya, atau dengan kata lain diserahkan ke mekanisme pasar.
“Begitu pula dengan kalimat “…usaha bersama..” yang artinya simbiosis mutualisme yang sangat berbeda dengan sektor privat atau swasta yang didominasi dengan prinsip self-interest dan penumpukan keuntungan,” ungkapnya.
“Sedangkan kalimat “…dikuasai negara…” bermakna negara hadir dengan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan, untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” sambung dia.
Menurut LaNyalla, dalam mewujudkan kedaulatan ekonomi sesuai sistem Pancasila idealnya ekonomi Indonesia disusun dan dijalankan oleh tiga entitas yang saling mendukung dan menjaga. Yaitu Koperasi Rakyat, BUMN atau BUMD dan BUMDes, dan Swasta murni, baik nasional maupun asing.
“Koperasi atau usaha rakyat adalah entitas bisnis yang dapat dijalankan oleh rakyat di sebuah wilayah atau daerah. Artinya, selama rakyat di suatu wilayah mampu mengorganisir dirinya dan berserikat untuk memiliki alat produksi melalui usaha bersama, atau koperasi, maka negara wajib memberikan perlindungan,” ujarnya.
Sedangkan BUMN, BUMD atau BUMDes adalah garda terdepan negara dalam menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak.
“Sementara swasta, baik nasional maupun asing, diberi ruang untuk di luar sektor-sektor strategis tersebut. Kecuali bila Swasta bekerjasama dengan BUMN, dengan porsi yang tetap dalam koridor penguasaan negara atas cabang-cabang yang penting bagi hajat hidup orang banyak, atau yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” katanya.
Sementara itu Rektor USK Profesor Marwan menyampaikan bahwa kedaulatan ekonomi bagi suatu negara sangat penting. Karena berkaitan dengan kemandirian suatu negara. “Ketika negara mampu mencukupi segala kebutuhan nasional, maka secara geopolitik tak mudah didikte oleh negara lain,” katanya.
Menurutnya kedaulatan ekonomi harus diperjuangkan. Dimana sejarah mencatat Indonesia pernah menjadi macan Asia, ekonomi tumbuh paling cepat setelah Perang Dunia II. Tahun 1980 juga pernah swasembada beras.
Namun Indonesia juga pernah alami krisis ekonomi di tahun 1998 yang meruntuhkan struktur ekonomi. Juga memicu soal lain yang mengancam ketahanan nasional kita.
“Itu menggambarkan bahwa sistem ekonomi yang dijalankan belum baku. Dimana sistem ekonomi kita alami perubahan dalam beberapa periode kepemimpinan,” katanya.
Pernah dengan sistem terpimpin di masa Orde Lama. Kemudian di masa orde Baru mulai dibuka sistem liberal dengan tumbuhnya perusahaan multi nasional.
“Setiap negara masih cari sistem ekonomi mana yang paling efektif. Yang bisa menjawab masalah ketimpangan dan masalah kemiskinan. Mana sistem ekonomi terbaik masih menjadi perdebatan,” paparnya.
Para ekonom Indonesia, lanjutnya, meyakini bahwa sistem ekonomi Pancasila mampu menjawab kritik adanya ekploitasi kaum buruh dan kekuasaan pemodal yang lazim terjadi pada sistem ekonomi liberal.
“Sistem ekonomi Pancasila hadir untuk menjawab hal itu. Karena sistem ekonomi Pancasila lahir dari konsep nilai luhur para pendiri bangsa. Dimana ada prinsip keadilan bagi rakyat,” tegasnya.(abus)