Unggulan

Irjen Chryshnanda Dwilaksana, Polisi Antisuap yang Cinta Seni

EKSNEWS.ID | Jakarta – Irjen Pol Prof Dr Chrysnanda Dwilaksana, MSi (55), dinilai sebagai perwira tinggi Polri yang visioner dan anti-KKN. Profesor bidang kajian ilmu kepolisian ini juga dikenal luas sebagai seniman yang piawai melukis dan mencintai seni budaya Indonesia. Karena itu, nama Irjen Chrys diusulkan publik menjadi salah satu kandidat Hoegeng Awards 2023 melalui formulir digital

Nama Irjen Chryshnanda diusulkan oleh seorang warga sipil bernama Agus. Dia mengaku sudah lama mengenal Chryshnanda sebagai teman. Agus mendeskripsikan bahwa Irjen Chryshnanda adalah sosok jenderal bintang dua yang humble, visioner, anti-KNN, serta guru panutan bagi para polisi muda. Selain itu, Irjen Chryshnanda adalah sosok yang sangat mencintai seni budaya.

Menggali informasi lebih dalam. Agus menilai Chryshnanda berbeda dengan perwira tinggi Polri yang lainnya.

“Dari sekian banyak perwira tinggi Polri yang saya kenal, mungkin selain Pak Chryshnanda ada yang lain. Tapi yang memiliki kriteria seperti yang dimaksud untuk Hoegeng Awards ini ada di Pak Chryshnanda, karena beliau ini orangnya visioner, terus memiliki kompetensi yang juga lumayan, karena beliau sudah profesor dan profesornya pun di bidang ilmu kepolisian,” kata Agus kepada detikcom, Senin (27/2/2023).

Irjen Chryshnanda saat ini menjabat sebagai Kasespim Lemdiklat Polri sejak Desember 2022. Agus menyebut Irjen Chryshnanda juga seorang dosen di beberapa universitas ternama di Indonesia.

“Beliau guru besarnya di STIK-PTIK, terus di UI juga sebagai dosen ilmu kepolisian, kemudian di beberapa universitas lain kayak di Airlangga, di Makassar itu juga sering jadi dosen tamu,” tutur dia. Sudah banyak karya dan hasil pemikiran Irjen Chrysnanda untuk Polri, termasuk di bidang keselamatan lalu lintas.

Selain itu, Agus menyebut Irjen Chryshnanda senantiasa menjauhkan diri dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dia disebut selalu berupaya tidak berhubungan langsung dengan vendor ketika ada pekerjaan di Polri.

“Pembuktian bisa ditelusuri, tapi dari saya beliau tidak suka bertemu dengan vendor pekerjaan yang ada di lingkungan jabatannya, misalnya ada vendor mau bertemu beliau menghindar lebih baik, malah menyerahkan kepada anak buahnya,” jelasnya.

“KKN sih dia tidak pernah, kalau dia mencetuskan program atau konsep itu tidak dahului dengan nilai angkanya, programnya akan diimplementasikan dalam projek pekerjaan gitu, dia nggak mau tahu angkanya berapa, pokoknya ini jalan, lebih bagus tidak ada nominal selagi ada yang bisa dimanfaatkan,” imbuhnya.

“Jangankan orang lain, istrinya sendiri itu dengan ganjil genap nomor polisi itu sangat tertib, kalau ganjil mendingan nggak berangkat kalau nomornya genap, itu sampai kebawa ke dalam keluarga. Istrinya lebih humble lagi, ibu tidak mau pakai ajudan, tidak pernah mau pakai sopir kecuali jarak jauh, ibu lebih banyak nyetir sendiri,” jelas Agus.

Keluarga Irjen Chryshnanda disebut sangat harmonis. Chryshnanda memiliki tiga orang anak, dua di antaranya telah lulus dari universitas.

“Di sisi keluarga beliau sangat harmonis anaknya juga tidak seperti anak jenderal yang lain malah tidak bisa bawa kendaraan bermotor, anaknya ada 3, yang pertama itu lulusan UI Kriminologi, yang kedua manajemen bisnis sudah lulus juga mau ngambil S2 di Australia kalau nggak salah, yang ketiga itu lebih ke seni dia sekarang di ITB, ilustrator,” jelasnya.

Irjen Chrysnanda
“Jadi memang anaknya juga sama kayak bapaknya. Mungkin juga agak aneh melihat anak jenderal satu ini, nggak pernah bawa mobil sendiri cenderung nggak bisa bawa mobil. Biasanya pakai grab,” tutur dia.

Agus mengaku telah lama mengenal sosok Chryshnanda. Agus sendiri adalah warga sipil yang bekerja di bidang media.

“Memang saya kenal beliau sejak beliau pangkatnya kompol, terus sempat nggak bertemu beberapa lama karena beliau tugas di Riau, kembali ke Jakarta terus baru ketemu lagi,” sebut dia.

“Kebetulan saya agak dekat dengan beliau, dan ada beberapa perwira tinggi juga agak dekat. Di lingkungan Polri beliau lebih dikenal sebagai sosok gurunya para polisi,” imbuhnya.

Agus menyebut Irjen Chryshnanda juga pernah mendapatkan penghargaan dari Jepang. Hal itu terkait dengan konsep pemolisian yang berbasis komunitas.

“Beliau beberapa kali dapat penghargaan dari Jepang tentang community policing, jadi dia membangun konsep pemolisian yang berbasis komunitas,” jelasnya.

“Ada puluhan buku beliau yang telah diterbitkan, tentang kopolisian tentang seni dan budaya dan itu tidak dijual. Beliau itu bikin buku, cetak atau digital terus dibagikan semua, secara gratis,” tutur dia.

Sejumlah buku yang ditulis Irjen Chrysnanda merupakan otokritik, dan upayanya untuk memperbaiki citra institusi Polri di masyarakat. Di antaranya ‘Menjadi Polisi yang Berhati Nurani’, Demokratisasi Pemolisian dan Strategi Keluar dari Zona Nyaman’, ‘Polisine Rakyat Iku Jujur Ora Ngapusi’, ‘Polisi Penjaga Kehidupan’, dan ‘Kenapa Mereka Takut dan Enggan Berurusan dengan Polisi?’.

Irjen Chryshnanda juga dikenal sebagai perwira tinggi Polri yang cinta dengan seni dan budaya. Chryshnanda menekuni bidang seni lukis.

“Terus beliau juga pecinta seni dan seniman juga, aktif dalam seni dan budaya, boleh dilihat di akun Instagram-nya beliau sangat aktif di seni dan budaya,” kata Agus.

Keaktifan Chryshnanda di bidang seni budaya juga diungkap oleh salah satu rekannya sesama pelukis, Gatot. Gatot mengenal Chryshnanda pada tahun 2020 melalui komunitas seni budaya.

“Saya kenal Pak Chris tahun 2020 sebagai sama-sama komunitas seni budaya, saya kenal lewat Komunitas Seni Budaya Kampoeng Semar, kebetulan saya dulu adalah wartawan dan kartunis, juga seorang pelukis lulusan ISI Yogyakarta, sama-sama pelukis saya sama Pak Chris ini,” kata Gatot kepada detikcom.

Gatot mengatakan Chryshnanda melukis sejak 1981. Dia disebut telah 12 kali menggelar pameran.

“Pak Chrys mulai melukis tahun ’81 di Magelang dalam sebuah sanggar bersama kawan-kawan, sebelum masuk Polri tentu saja. Beliau itu mau masuk ASRI, nggak boleh sama bapaknya orang tuanya tidak setuju karena tidak ada biaya, tapi Pak Chryshnanda tidak putus asa, setelah dia masuk Polri hobi melukis itu berlanjut, bahkan sampai dia bintang 2,” tutur dia.

“Jadi Pak Chrys kadang-kadang mengutarakan simbol-simbol, metafora, sehingga untuk melihat, meresapi karya Pak Chris itu pakai perenungan, ‘ini maksudnya apa, ini maksudnya apa’,” imbuhnya.

Gatot menyebut Kapolri ke-5 RI Jenderal (purn) Hoegeng Iman Santoso memiliki hobi melukis. Hal itu, kata dia, sama dengan hobi Chryshnanda.

“Pak Hoegeng juga cinta seni budaya, cuma kebetulan dia hobinya memang melukis. Pak Chryshnanda kebetulan kok ya sebagai seorang pelukis juga meskipun dia seorang Irjen,” tutur Gatot.

Chryhsnanda disebut sebagai sosok yang profesional di bidang kepolisian. Di sisi lain, Chyshananda juga dinilai sebagai sosok budayawan.

“Pak Chris itu beliau ini seorang cendekiawan juga, boleh juga seorang yang profesional di bidang ilmu kepolisian tapi selain itu dia adalah pengamat, mungkin juga sudah bisa dibilang budayawan, karena memang kiprah di dalam seni budaya sudah lama Pak Chris, bahkan tulisan-tulisannya pun itu banyak menyangkut masalah pemikiran seni dan budaya di Indonesia,” sebutnya.

Integritas Chryshnanda di Polri, kata Gatot, memang luar biasa. Dia juga menyinggung soal buku yang diciptakan oleh Chryshnanda tentang art policing.

“Pak Chris ini integritas dan kompetensinya di bidang Polri dan seni budaya luar biasa. Beliau adalah salah satu penulis buku art policing, di dalam tulisan art policing, polisi ini selain tugas formalnya juga sangat penting diisi oleh kegiatan-kegiatan seni budaya, misalnya seorang polisi yang bisa bermain musik,” sebutnya.

“Sehingga dengan adanya kegiatan-kegiatan seni dan budaya ini bisa menginspirasi atau bisa menjadikan sebuah kekuatan peradaban manusia, dalam hal ini profesional Polri. Bukan hanya tugas Polri saja tetapi juga menjalankan kegiatan seni dan budaya,” lanjutnya.

Dalam buku itu, kata Gatot, Chryshnanda menjelaskan bahwa seni dan budaya merupakan pilar peradaban bangsa. Jadi, kata dia, seni budaya bisa memajukan sebuah bangsa.

“Jadi menurut saya sangat cocok ini, misalnya seorang Polri berkegiatan seni budaya, sosok Pak Chris ini cocok banget, jarang yang jenderal sangat khusyuk atau konsisten berkegiatan seni budaya, jarang, ini, jenderal berbintang 2 lagi,” sebut dia.

“Pak Hoegeng orang baik dan orang penting. 10 poin ‘Hoegeng Iman Santosa, orang baik dan orang penting’. Menginspirasi dari pikiran perkataan dan perbuatannya. Konsisten dengan komitmennya memegang teguh imannya yang sentosa. Pendidikan dalam keluarga, sekolah dan lingkungan yang membentuk karakternya,” kata Chryshananda

Selain itu, Chryshnanda menilai Jenderal Hoegeng adalah sosok pencinta seni lukis, musik hingga public speaking. Mencintai dan bangga sebagai polisi. Jenderal Hoegeng juga disebut senantiasa menjalankan keutamaan sebagai seorang polisi bagi kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban.

“Sikap dan implementasi antikorupsi dalam hidup dan kehidupannya sebagai polisi maupun di dalam keluarga. Bekerja dengan sikap tulus, jujur, baik dan benar. Tegar dengan sikapnya yang didukung oleh keluarganya walau lingkungan menggerus dan memberi tekanan berat sekalipun. Tetap bersahaja walau dipensiundinikan pada usia 49 tahun,” tutur dia.

Polisi Ibarat Sendal atau Sepatu
Irjen Chryshnanda mengibaratkan polisi sebagai sandal atau sepatu, sebab semahal apapun tidak akan ditaruh di kepala, tetap saja di kaki dan dijadikan alas.

“Pada saat pesta, bekerja atau bepergian atau dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan apabila kita tidak memakai sepatu atau sandal akan terlihat aneh atau mungkin juga bisa dibilang tidak normal,” jelas Chryshnanda.

Menurut Chryshanda, suatu negara yang modern dan untuk menjaga keteraturan sosial dengan rasa aman dan nyaman, maka polisi akan dibangun dan ditumbuhkembangkan. Polisi, kata dia, adalah bagian dari masyarakat dan berasal dari masyarakat.

“Akan aneh jika suatu negara bila tanpa polisi. Polisi merupakan bagian dari masyarakatnya dan sekaligus produk dari masyarakatnya, yang dalam penyelenggaraan tugasnya polisi melalui pemolisian. Ada hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara polisi dengan masyarakatnya,” jelasnya.

“Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan polisi yang baik adalah polisi yang cocok dengan masyarakatnya. Keberadaan polisi memang harus dekat dengan masyarakatnya. Kedekatan ini yang setidaknya harus dibangun secara sistematis, bukan sebatas kemampu. Red/Abus /Irsyam)

Sumber : Detik.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *