Hukum

Mencederai Keadilan, Prof Suhandi Cahaya Menanggapi Kasus Hukum Ronald Bebas di PN Surabaya

 

EKSNEWS.ID | Berita – Gregorius Ronald Tannur, anak eks anggota DPR RI F-PKB, Edward Tannur terdakwa pembunuhan sadis kekasihnya, Dini Sera Afrianti (29) yang divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Hakim menilai Ronald tak terbukti membunuh atau menganiaya Dini hingga tewas.

Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim PN Surabaya Erintuah Damanik mengatakan Ronald dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Muzakki. Baik dalam pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP maupun ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP.

“Terdakwa Gregorius Ronald Tannur anak dari Ronald Tannur tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan pertama, kedua, dan ketiga,” ujar Erintuah saat membacakan amar putusannya di Ruang Cakra PN Surabaya, pada Rabu (24/7/2024).

“Membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan, memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan setelah putusan ini diucapkan, memberikan hak-hak terdakwa tentang hak dan martabatnya,” katanya.

Putusan ini membuat hampir seluruh pengunjung sidang yang hadir terkejut. Sebab jaksa dalam sidang sebelumnya menuntut Ronald hukuman 12 tahun dan ganti membayar restitusi pada keluarga korban atau ahli waris senilai Rp 263,6 juta.

Usai mendengar vonis tersebut, Ronald tampak menangis dan sempat berdiskusi dengan penasihat hukumnya. Usai sidang, Ronald kembali digelandang menuju Ruang Tahanan PN Surabaya.

Saat digelandang menuju ruang tahanan, mata Ronald masih terlihat sembab dan berkaca-kaca. Ia berjalan dengan pengawalan petugas dan tim penasihat hukumnya.

“Tidak apa-apa, yang penting Tuhan yang membuktikan. Nanti saya serahkan pada kuasa hukum saya,” kata Ronald di hadapan media.

JPU Ahmad Muzakki mengaku pikir-pikir dengan putusan hakim tersebut. Menurutnya, ia akan berdiskusi lebih lanjut dengan pimpinannya di Kejari Surabaya.

Kemudian, Prof Suhandi Cahaya ahli hukum pidana yang sudah bersidang di pengadilan seluruh Indonesia sebanyak lebih dari 250 kali menanggapi putusan mejelis hakim PN Surabaya tersebut putusan mejelis hakim telah mencederai keadilan.

“Terkait putusan yang dilakukan hakim Pengadilan Negeri Surabaya, tentu sangat memprihatinkan bagaimana hakim di sini memberikan putusan yang sangat mencederai keadilan,” kata Prof Suhandi Cahaya, Senin (19/8/2024).

Prof Suhandi Cahaya kepada seluruh teman di Mahkamah Agung, Mahkamah Tinggi, Pengadilan Daerah dan Jaksa serta polisi.

“PN Surabaya terkait putusan akhir pidana kasus korban mati yang dibunuh pacarnya. Kami akan melaporkan hakim kepada Mahkamah Agung. Kita harus belajar dan terus belajar tentang hukum, pengetahuan, kebijaksanaan, politik dan berita,” tuturnya.

Perilaku seorang pelaku terhadap korban, sepanjang hidupnya yang baik maupun yang jahat, merupakan akumulasi dari perbuatan waktu ke waktu.

“Hendaklah kita selalu berhati-hati dan cermat dalam berperilaku dan menangani persoalan, namun jangan lantas picik dan mencari-cari kesalahan. Jangan membuat kesalahan dalam kehidupan sehari-hari sebagai kesalahan kecil,” papar Prof Suhandi Cahaya.

Lanjut, Prof Suhandi Cahaya ahli pidana dari Program Pascasarjana STIH IBLAM, biarlah Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir dari keadilan dapat mengadili perkara tersebut dengan putusan yang seadil-adilnya.

“Sebab hakim-hakim Agung tersebut masih punya hati nurani dan menegakkan keadilan yang pasti. Hakim di dalam mengadili kasus pidana harus mengacu pada Pasal 188 ayat 3 KUHAP,” imbuhnya.

“Putusan PN Surabaya tersebut sangat mencederai rasa keadilan yang sudah terkoyak-koyak. Jaksa harus menyatakan kasasi, seharusnya setiap hakim dalam mengadili sesuai Pasal 188 ayat 3 KUHAP. Kalau tidak putusan tersebut haruslah dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI,” tambahnya.

Menurut Prof Suhandi Cahaya masih banyak Hakim Agung yang pandai-pandai dan bergelar Profesor atau Doktor yang selalu menegakkan keadilan dan tidak menerima tamu siapa pun juga.

“Inilah benteng keadilan yang harus ditegakkan, seperti putusan kasus pidana PT Indo Surya, sebab ada orang mati yang terkapar. Masa pelakunya bisa bebas. Hal ini bertentangan Akitab Pengchotbah 3 ayat 16, yang isinya di bawah sinar matahari, ditempat Pengadilan, disitulah sarangnya ketidakadilan,” paparnya. ( Abus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.